Achmad Irfandi dan Kampung Lali Gadget: Menyelamatkan Tawa Anak dari Dekapan Layar
Kabut pagi masih tipis saat suara tawa anak-anak mulai terdengar dari ujung gang kecil di Dusun Bendet, Desa Pagerngumbuk, Kecamatan Wonoayu, Kabupaten Sidoarjo. Di atas tanah lapang berumput, sekitar dua puluh anak sedang bermain gobak sodor. Keringat membasahi pelipis mereka, namun tawa lepas terus mengalun.
Tak satu pun di antara mereka menunduk menatap layar gawai. Di tepi lapangan, seorang pria muda kelahiran 1993 tersenyum sambil memantau dari kejauhan. Dialah Achmad Irfandi, sang penggagas Kampung Lali Gadget — sebuah gerakan yang berawal dari keresahan, namun menjelma menjadi ruang kehidupan baru bagi banyak anak.
Dari Keresahan Seorang Anak Desa
Semua bermula dari sebuah pemandangan sederhana yang diamati Irfandi bertahun-tahun lalu. Di warung kopi dekat rumahnya, ia sering melihat anak-anak sekolah yang menghabiskan waktu berjam-jam bermain gim daring. Mereka lupa makan, lupa salat, bahkan kadang lupa pulang.
“Anak-anak sekarang kehilangan masa kecilnya,” ujarnya lirih dalam satu wawancara. “Padahal masa bermain itu penting untuk tumbuh kembang sosial dan emosional mereka.”
Sebagai seorang pendidik yang menempuh studi Bahasa dan Sastra di Universitas Negeri Surabaya, Irfandi memahami bahwa permainan tradisional bukan sekadar hiburan. Di dalamnya tersimpan nilai-nilai sosial: kerja sama, kejujuran, sportivitas, dan daya juang. Tapi di era digital, semua itu mulai memudar.
Ia teringat masa kecilnya di desa: berlarian di sawah, bermain egrang dari bambu, atau membuat perahu dari daun pisang. “Itu masa paling bahagia,” kenangnya. Maka ketika melihat anak-anak lebih akrab dengan gawai daripada tanah dan udara, hatinya terusik. Ia ingin mengembalikan kebahagiaan itu, meski hanya pada satu kampung kecil.
Lahirnya Sebuah Gerakan dari Desa
Dari keresahan itulah, Kampung Lali Gadget lahir pada 1 April 2018. Kata “lali” berarti “lupa” dalam bahasa Jawa — sebuah harapan agar anak-anak bisa sejenak melupakan layar dan menikmati dunia nyata. Irfandi meminjam sebidang tanah kosong di desanya, mengumpulkan teman-teman muda, dan mulai menghidupkan kembali permainan masa kecil.
Awalnya kegiatan berjalan sederhana. Hanya beberapa anak yang datang, bermain congklak dan lompat tali. Tapi tawa mereka menarik perhatian warga lain. Orang tua mulai datang, sebagian ikut bermain, sebagian membantu menyiapkan alat permainan. Dari sana, komunitas kecil itu tumbuh menjadi gerakan yang lebih besar.
Sekarang, setiap akhir pekan, lapangan kecil di Pagerngumbuk ramai oleh anak-anak yang datang dari berbagai daerah. Mereka bermain egrang, bakiak, bentengan, hingga tarik tambang. Tidak ada wifi, tidak ada ponsel. Sebagai gantinya, ada tanah, keringat, tawa, dan kehangatan.
“Anak-anak butuh ruang untuk bergerak, tertawa, jatuh, bangkit, dan belajar langsung dari pengalaman,” kata Irfandi. “Kampung ini bukan tempat melarang gadget, tapi tempat mengajarkan keseimbangan.”
Ruang Belajar Tanpa Layar
Di Kampung Lali Gadget, bermain adalah cara belajar. Setiap pekan, kegiatan diatur berdasarkan tema: air, tanah, alam, atau tradisi. Misalnya, saat tema “Dolanan Banyu” (bermain air), anak-anak diajak bermain di kolam lumpur, menangkap ikan, atau membuat kapal dari batang pisang. Di tema “Dolanan Alam”, mereka belajar menanam padi, mengenal serangga, dan membuat mainan dari daun kelapa.
Semua kegiatan dilakukan dengan pendekatan edukatif. Tidak ada kompetisi, hanya kolaborasi. Anak-anak diajak untuk berpikir kreatif, mengenal lingkungan, dan menghargai proses.
“Setiap anak itu punya potensi, asal diberi ruang,” ucap Irfandi.
Yang menarik, banyak orang tua ikut turun tangan. Ada yang menjadi fasilitator permainan, ada yang membantu menyediakan makanan, ada pula yang sekadar duduk di bawah pohon sambil mengobrol dengan anaknya. Di Kampung Lali Gadget, hubungan orang tua dan anak kembali terjalin — sesuatu yang kadang hilang di rumah-rumah yang sibuk oleh notifikasi.
Dari Lapangan Kecil ke Inspirasi Nasional
Gerakan ini ternyata menarik perhatian banyak pihak. Sekolah-sekolah mulai berkunjung, mengajak murid-muridnya belajar di alam. Kampung Lali Gadget pun berkembang menjadi wisata edukasi berbasis budaya dan permainan tradisional. Tak hanya dari Sidoarjo, tapi juga dari Surabaya, Gresik, bahkan luar provinsi.
Pada tahun 2021, Irfandi dan timnya menerima SATU Indonesia Awards bidang Pendidikan dari Astra, sebuah pengakuan bagi mereka yang berkontribusi bagi masyarakat. Namun bagi Irfandi, penghargaan bukan tujuan. “Yang paling berharga itu saat melihat anak-anak tertawa lepas. Itu piala yang sebenarnya,” ujarnya sambil tersenyum.
Kini, Yayasan Kampung Lali Gadget juga mengembangkan program pelatihan parenting, pemberdayaan masyarakat desa, hingga workshop membuat mainan tradisional. Semua bertujuan sederhana: menghadirkan kebahagiaan yang alami, tanpa tergantung pada layar.
Tantangan di Era Serba Digital
Namun tentu, jalan yang dilalui tidak selalu mulus. Di awal berdirinya, banyak orang yang menganggap ide “kampung tanpa gadget” itu terlalu idealis. “Bagaimana mungkin anak zaman sekarang bisa lepas dari gadget?” begitu komentar yang sering terdengar.
Bahkan, saat pandemi melanda, kegiatan KLG sempat terhenti. Tapi bukannya menyerah, Irfandi dan tim justru memutar arah. Mereka membuat face shield untuk tenaga medis dan berbagi bantuan sosial. “Kami belajar untuk tetap bermanfaat, walaupun anak-anak tak bisa datang,” katanya.
Kini, tantangan terbesar adalah menjaga semangat komunitas tetap menyala di tengah derasnya arus digital. “Anak-anak sekarang digital native, kita tidak bisa menolak itu. Tapi kita bisa mengajarkan mereka cara hidup seimbang,” ucapnya mantap.
Bagi Irfandi, gadget bukan musuh. Ia adalah teman, selama manusia tetap jadi tuannya. Filosofi ini juga dia terapkan pada para relawan muda di KLG, yang sebagian besar generasi milenial dan Gen Z. Mereka menggunakan media sosial untuk menyebarkan semangat detoks digital ke publik, tapi tetap setia pada prinsip: di kampung, semua orang hadir dengan tubuh dan hati, bukan layar.
Desa yang Menyembuhkan
Berjalan di sekitar Kampung Lali Gadget seperti menyusuri potongan masa lalu yang disulam kembali dengan warna masa kini. Ada aroma tanah basah, suara jangkrik, tawa anak-anak, dan percikan air dari ember plastik. Di salah satu sudut, tampak seorang ibu membantu anaknya belajar membuat egrang dari bambu. Di sisi lain, sekelompok anak berlatih menari tarian daerah, sementara Irfandi sesekali datang menyalami mereka.
Di tengah hiruk pikuk dunia digital yang serba cepat, kampung ini seperti ruang pernapasan. Tempat untuk berhenti sejenak, menatap langit, mendengar tawa, dan mengingat bahwa kebahagiaan sering kali sederhana.
“Bermain bukan hal sepele,” kata Irfandi suatu sore. “Di situ anak belajar mengelola emosi, bersosialisasi, mengalah, dan berani mencoba lagi. Itu modal hidup yang tidak bisa diajarkan oleh layar.”
Kampung Lali Gadget kini bukan sekadar tempat bermain, tapi juga tempat menyembuhkan. Banyak orang tua yang datang bukan hanya mengantar anak, tapi ikut belajar kembali tentang makna hadir. Ada pula pengunjung dari luar kota yang mengaku menemukan kembali “inner child”-nya setelah ikut bermain lumpur bersama anak-anak.
Mimpi yang Tak Pernah Padam
Meski Kampung Lali Gadget sudah dikenal luas, Irfandi tak berhenti bermimpi. Ia ingin mendirikan Sekolah Alam Rakyat Murah, sekolah berbasis permainan dan kearifan lokal yang bisa diakses semua anak tanpa harus membayar mahal. Ia juga sedang menyiapkan model pelatihan agar konsep kampung ini bisa direplikasi di daerah lain.
“Harapannya, tiap daerah punya versi Kampung Lali Gadget sendiri,” katanya penuh semangat. “Karena setiap anak di mana pun berhak bahagia.”
Irfandi percaya, perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil. Dari sebuah desa sederhana di Sidoarjo, ia menunjukkan bahwa kebahagiaan dan pendidikan tidak selalu butuh layar, tapi butuh ruang dan cinta.
Mengembalikan Tawa yang Pernah Hilang
Sore menjelang di Pagerngumbuk. Cahaya matahari menembus dedaunan, menimpa wajah anak-anak yang masih sibuk bermain. Ada yang tertawa terpingkal saat egrangnya jatuh, ada yang berlari mengejar layang-layang. Di tepi lapangan, Irfandi kembali tersenyum.
“Kalau anak-anak tertawa seperti ini setiap hari,” katanya pelan, “berarti kita sudah menang.”
Kampung Lali Gadget bukan sekadar tempat bermain. Ia adalah perlawanan halus terhadap dunia yang terlalu sibuk. Ia mengingatkan kita bahwa di antara semua notifikasi dan algoritma, ada sesuatu yang jauh lebih penting — tawa anak-anak yang jujur dan bahagia.
Dan mungkin, di sanalah masa depan bangsa ini seharusnya tumbuh.***
#APA2025-Blogspedia
Sumber:
- Website Resmi Kampung Lali Gadget. (2024). Tentang Kami & Program. Diakses dari https://kampunglaligadget.org/
- Instagram Kampung Lali Gadget. (2024). Dokumentasi Kegiatan & Edukasi Digital Anak. Diakses dari https://www.instagram.com/kampunglaligadget/
- Ningtyas, Marita. (2021, 15 Desember). Kampung Lali Gadget: Selamatkan Senyum Anak Indonesia. Blog Marita Ningtyas. Diakses dari https://www.maritaningtyas.com/2021/12/kampung-lali-gadget-selamatkan-senyum-anak-indonesia.html
- Ningtyas, Marita. (2023, 2 Agustus). Semangat Achmad Irfandi untuk Masa Depan Anak Indonesia. Blog Marita Ningtyas. Diakses dari https://www.maritaningtyas.com/2023/08/semangat-achmad-irfandi-untuk-masa-depan-anak-indonesia.html
- Good News From Indonesia (GNFI). (2024, 29 Oktober). Menjadi Anak Desa Tanpa Gadget dan Tanpa Wifi di Kampung Lali Gadget, Sidoarjo. Diakses dari https://www.goodnewsfromindonesia.id/2024/10/29/menjadi-anak-desa-tanpa-gadget-tanpa-wifi-di-kampung-lali-gadget-sidoarjo




No comments for "Achmad Irfandi dan Kampung Lali Gadget: Menyelamatkan Tawa Anak dari Dekapan Layar"
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung. Jangan lupa tinggalkan komentar, tapi mohon tidak menyisipkan link hidup.
Salam Peradaban,
Bunda Marita