Menghadapi Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT): Langkah-langkah Penting bagi Perempuan

menghadapi Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Klontang. Pyar.

Suara piring dan segala macam alat rumah tangga beradu dengan tembok dan lantai. Aku melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana seorang pria yang seharusnya kuhormati terbakar emosi hingga melakukan hal yang tak sepantasnya.

Ibu yang melihatku menatap nanar kejadian itu memberikan kode agar aku masuk ke kamar. Aku bergegas berlari ke kamar, menutup pintu rapat-rapat, sekaligus kedua telingaku. Aku berharap suara-suara gaduh itu tak lagi bisa kudengar.

Bukan sekali dua kali kejadian seperti itu harus kutemui. Itulah yang menjadi alasan mengapa aku tak pernah banyak ngobrol dengan bapak. Ada rasa takut, tak nyaman dan bisa jadi benci yang mengakar di dalam dada.

Bersyukur hubungan kami membaik, justru setelah aku menikah. Aku baru bisa mengungkapkan apa yang di hatiku, dan kami bisa berkomunikasi dengan cukup intens. Setidaknya luka-luka yang sempat menganga, sedikit terobati, walau tentu saja masih menyisakan jejak.

Dengan pengalaman kedua orang tuaku, besar harapanku untuk memiliki keluarga yang berbeda. Namun di awal-awal pernikahan, tanpa kusadari, aku menduplikasi cara bapak ibuku mengekspresikan amarah. Pun gaya komunikasiku ternyata sangat plek ketiplek dengan mereka.

“Children see, childreen do.” Ternyata benar adanya. Tanpa kusadari, apa yang kulihat dan kudengar bertahun-tahun tertancap kuat di dalam alam bawah sadarku. Sehingga ada banyak momen-momen di mana aku tenggelam dalam perilaku yang sebenarnya ingin sekali tak aku lakukan.

Bersyukurnya, aku cepat menyadari itu. Bersyukurnya, Allah SWT mengirimkan banyak teman-teman baik yang menjadi circle-ku, hingga aku bisa menarik diriku sebelum benar-benar jatuh ke lubang yang sama, seperti kedua orang tuaku.

Sohib Parents, itulah sedikit pengalamanku terkait Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). Dari pengalaman itu, aku menyadari bahwa KDRT seperti rantai. Ia akan terus bergulir, kecuali kita yang ada di dalamnya sadar untuk memutus rantai tersebut.

Suatu hari pada usia remajaku, aku pernah bertanya pada ibuku, “Mengapa ibu tidak bercerai saja dengan bapak sih?” Ibuku hanya tersenyum, lalu memberikan jawaban yang saat itu tak dapat kuterima, bahkan mungkin sampai detik ini, “Kamu mungkin merasa kita bisa tanpa bapak, tapi adikmu masih butuh bapak, nduk.”

Sayangnya saat itu aku tak punya kekuatan lebih untuk mendebat ibuku. Hanya kemudian saat aku sudah menikah, aku justru semakin menyadari bahwa bertahan dalam sebuah toxic marriage sama sekali tidak menguntungkan siapapun, terlebih anak-anak.

Anak-anak bukan saja butuh sosok laki-laki yang disebut bapak atau ayah, tapi hanya hadir dalam bentuk fisiknya. Anak-anak sejatinya butuh sosok bapak yang hadir secara psikologis, yang selalu menyapa mereka dengan hangat, mengajak bermain, dan merangkai kenangan indah yang kelak akan menjadi ‘warisan’ tersendiri bagi masa depannya.

Bertahan demi anak, tanpa ada usaha untuk keluar dari pernikahan yang penuh dengan ancaman dan kekerasan, justru membuat anak tertekan. Tak sedikit yang kemudian mengalami trauma, menyisakan beban psikologis, dan berdampak dalam kehidupannya di masa dewasa.

Aku beruntung dipertemukan pasangan yang demikian sabar menghadapi segala traumaku, dan diberi fasilitas untuk menyembuhkan diri. Aku beruntung bertemu dengan teman-teman baik yang bisa menjadi support system bagiku untuk berani memutus mata rantai KDRT. Bagaimana dengan anak-anak lain di luar sana yang tak mendapat kesempatan sama denganku?

Melalui artikel ini, aku ingin menyuarakan kepada siapa saja yang saat ini sedang dalam sebuah kondisi rumah tangga tak sehat, di mana KDRT menjadi makanan sehari-hari; “Run, bestie.. run!” 

Orang yang menyayangimu dengan tulus tak akan menorehkan luka. Orang yang benar-benar menyayangimu, saat ia menyadari kekeliruannya, akan berani untuk berubah.
 
Namun jika segala usahamu untuk memperbaiki keadaan sudah mentok. Pasanganmu tak lagi bisa diajak berkomunikasi dengan baik. Tak ada keinginan dari dirinya untuk memperbaiki diri. Selamatkan dirimu, selamatkan anak-anakmu!

Miris sekali rasanya mendengar sebuah berita viral baru-baru ini. Di mana seorang bapak tega membunuh empat buah hatinya dengan cara yang sangat sadis. Terbuat dari apakah hatinya itu?

Masalah hidup memang ada saja. Kadang kala memang bisa jadi membuat kita kehilangan akal sehat. Namun membunuh anak kandung sendiri, buatku itu benar-benar ‘sakit.’

That’s why saat kita sudah melihat red flags dalam diri pasangan, dan kita sadar ‘sakit’nya sudah tak lagi bisa diobati, yuk aah beranikan diri untuk berhenti dari lingkaran itu. Hentikan kekhawatiran apakah nanti bisa memberikan kehidupan yang layak bagi anak. Hentikan prasangka bahwa nanti anak akan kehilangan figur seorang ayah.

Percayalah, saat anak terus-menerus melihat KDRT di rumah yang dilakukan orang tua mereka, sejatinya mereka telah kehilangan figur orang tua di mata mereka. Tak ada rasa hormat, terkikisnya rasa sayang, yang justru berbahaya bagi kesehatan mental anak-anak di kemudian hari.

Percayalah, Allah SWT memberikan rizki super luas. Bahkan meski saat ini kita belum memiliki penghasilan sendiri, insya Allah akan ada jalannya bagi kita yang mau membuka lembaran baru untuk kehidupan yang lebih baik.

Perpisahan memang salah satu hal yang dibenci Allah SWT. Namun hal itu tidak dilarang bukan? Bahkan salah seorang ustazah yang tinggal satu perumahan denganku pernah memberikan wejangan ketika ada tetangga yang mengalami KDRT, “Membiarkan diri kita terus berada dalam KDRT artinya kita telah zalim terhadap diri sendiri.” 

Jadi, keluar dari toxic marriage itu bukanlah sebuah kesalahan, Sohib Parents. Jika perpisahan membawa banyak maslahat, insya Allah jalan itu jauh lebih baik dibandingkan kekeuh bertahan dalam prahara.

10 Cara yang Bisa Dilakukan Perempuan Saat Menghadapi KDRT

KDRT memang merupakan masalah serius yang dapat mengancam kehidupan dan kesejahteraan perempuan. Saat menghadapi situasi KDRT, perempuan perlu tahu langkah-langkah yang dapat mereka ambil untuk melindungi diri dan mendapatkan bantuan yang dibutuhkan. Berikut adalah beberapa tindakan yang penting bagi perempuan yang mengalami KDRT:

1. Prioritaskan Keselamatan Pribadi

Saat mengalami KDRT, keselamatan pribadi harus menjadi prioritas utama. Jika mungkin, carilah tempat yang aman di dalam atau di luar rumah, seperti kamar yang dapat dikunci atau tetangga yang dapat memberikan perlindungan sementara.

Apabila sudah memiliki anak, pastikan untuk menyelamatkan anak-anak juga. Sebisa mungkin minimalkan hal-hal yang bisa membuat mereka mengalami trauma di masa depan.

2. Hubungi Layanan Darurat

Segera hubungi layanan darurat, seperti polisi atau pusat panggilan darurat KDRT setempat. Laporkan kejadian tersebut dengan jujur dan rinci agar bantuan dapat diberikan sesegera mungkin.

3. Rencanakan Pelarian Aman

Buatlah rencana pelarian aman jika situasi memburuk. Kenali rute keluar dari rumah dan identifikasi tempat-tempat yang dapat memberikan perlindungan, seperti tempat perlindungan sementara atau rumah keluarga atau teman.

4. Dapatkan Dukungan Emosional

Mencari dukungan emosional sangat penting dalam mengatasi KDRT. Bicaralah dengan teman, keluarga, atau konselor yang dapat memberikan pendengaran dan dukungan. Mengungkapkan pengalaman Sohib Parents dapat membantu mengurangi beban psikologis.

5. Konsultasikan dengan Pusat Krisis atau Lembaga Penanganan KDRT

Cari bantuan dari pusat krisis atau lembaga penanganan KDRT setempat. Mereka dapat memberikan informasi, dukungan, dan sumber daya yang dapat membantu Sohib Parents mengatasi situasi KDRT.

Selain kepolisian dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), di Semarang ada LSM yang bergerak aktif dalam penanganan KDRT, seperti Seruni dan LRC KJHAM. Sohib Parents bisa berkonsultasi dengan mereka untuk menentukan langkah selanjutnya.

6. Dokumentasikan Kejadian

Dokumentasikan setiap kejadian KDRT dengan baik. Simpan bukti fisik seperti foto luka atau kerusakan properti, dan catat tanggal, waktu, dan deskripsi kejadian secara terperinci. Dokumentasi ini dapat menjadi bukti penting jika Sohib Parents memerlukan perlindungan hukum.

7. Ajukan Perintah Perlindungan

Jika memungkinkan, ajukan perintah perlindungan kepada otoritas hukum. Perintah ini dapat memberikan perlindungan hukum dan mencegah pelaku KDRT untuk mendekati Sohib Parents.

8. Hubungi Organisasi Wanita dan Lembaga Non-Pemerintah

Sumber daya dan dukungan lebih lanjut dapat ditemukan melalui organisasi wanita dan lembaga non-pemerintah yang fokus pada isu KDRT. Mereka dapat memberikan konseling, bantuan hukum, atau tempat perlindungan.

9. Rehabilitasi dan Pemulihan

Setelah melarikan diri dari situasi KDRT, penting untuk memulai proses rehabilitasi dan pemulihan. Konsultasikan dengan profesional kesehatan mental, konselor, atau kelompok dukungan untuk membantu Sohib Parents mengatasi dampak psikologis dari KDRT.

10. Pendidikan dan Pencegahan

Setelah keadaan membaik, perempuan yang mengalami KDRT dapat berkontribusi pada pendidikan dan pencegahan KDRT. Berbagi pengalaman dapat membantu menginformasikan masyarakat tentang tanda-tanda KDRT dan meningkatkan kesadaran akan masalah ini.

Menghadapi KDRT memerlukan keberanian dan dukungan dari berbagai pihak. Penting bagi perempuan yang mengalami KDRT untuk mencari bantuan secepat mungkin dan membangun jaringan dukungan yang kuat demi keselamatan dan pemulihan mereka.

Buat siapapun yang membaca artikel ini, dan sedang berada dalam situasi KDRT, “You’re not alone! Be brave and believe that you can change your destiny!” ***
Marita Ningtyas
Marita Ningtyas A wife, a mom of two, a blogger and writerpreneur, also a parenting enthusiast. Menulis bukan hanya passion, namun juga merupakan kebutuhan dan keinginan untuk berbagi manfaat. Tinggal di kota Lunpia, namun jarang-jarang makan Lunpia.

No comments for "Menghadapi Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT): Langkah-langkah Penting bagi Perempuan"