Memberikan Kebebasan Bertanggungjawab kepada Anak

melatih kebebasan bertanggungjawab
Ini merupakan resume singkat dari Mata Pena (Majelis Tsaqofah Pengasuhan Anak) online bersama Abah Ihsan. Menjadi bagian dari keluarga besar Yuk Jadi Orangtua Shalih (YukJos Community) yang merupakan alumni dari PSPA (Program Sekolah Pengasuhan Anak) memiliki privilige tersendiri.

Kami bisa mendapat materi-materi lanjutan yang eksklusif langsung dari Abah Ihsan. Sebelum ada pandemi, Mata Pena biasanya dilakukan secara offline. Saat Abah sedang mengisi pelatihan di suatu kota, pengurus Yukjos di kota tersebut biasanya akan diinformasikan jika memang menginginkan mengadakan Mata Pena.

Tentu saja hal tersebut tidak akan disia-siakan oleh member YukJos, karena seat untuk Mata Pena ini terbatas hanya untuk alumni dan tidak selalu ada. Apalagi di Semarang, semakin jarang PSPA diadakan di kota ini. Artinya makin jarang pula Abah Ihsan mampir ke kota kami.

Sejak pandemi di mana seminar dan workshop parenting mulai semarak dilakukan secara online, Mata Pena pun juga mulai banting setir ke ranah online. Meski feel yang didapat berbeda, karena Abah Ihsan typical pemateri yang lebih hidup saat kelas offline, tetapi daripada tidak sama sekali ye kan? Alhamdulillah bisa terus recharge ilmu parenting dari beliau.

Resume yang kali ini kami bagikan di sini merupakan resume Mata Pena pada bulan Juni 2020 lalu. Wah sudah lama ya? Namun insya Allah materinya long lasting kok, jadi masih relevan untuk dibagikan saat ini.

Melatih Kebebasan Bertanggungjawab kepada Anak

Di zaman now, apalagi sejak pandemi, teknologi telah menjadi kebutuhan dasar. Namun seharusnya teknologi jangan sampai membuat ketergantungan. Seluruh anggota keluarga nggak harus online dari pagi sampai sore. Cukup di waktu-waktu tertentu.

Sayangnya pada anak-anak yang sudah diberikan fasilitas gadget sendiri, biasanya hal ini sangat susah. HP memang melenakan, apalagi kalau ada sambungan internet di dalamnya. Berjam-jam berselancar di dunia maya tak terasa. Selalu ingin lagi dan lagi. Hingga melalaikan tugas-tugas lainnya.

Banyak orangtua merasa kewalahan, pun kami mengalaminya. Meski sudah tahu jawabannya, karena Abah Ihsan selalu mengingatkan berkali-kali, bahwasanya untuk membuat anak berhenti bermain gagdet, hanya butuh orangtua yang harus konsisten.

PR besar buat kami yang sehari-hari kerja pun nggak bisa jauh dari internet, akhirnya sering sekali inkonsisten dengan batasan-batasan yang telah kami buat di rumah. Pada akhirnya anak-anak lebih sering merasakan kebebasan berseluncur di internet, daripada kebebasan yang bertanggungjawab.

Pada Mata Pena waktu itu, Abah Ihsan mengingatkan bahwasanya orang yang menginginkan kebebasan, biasanya akan melepaskan satu ikatan untuk membuat ikatan lain. Anak yang ingin bebas dari orangtuanya, dia akan terikat pada yang lain.
Sesungguhnya, tIdak ada kebebasan yang sejati.
Begitu juga saat anak-anak meminta kebebasan dalam bermain gadget, sejatinya mereka hanya ingin bebas dari omelan orangtua, disuruh ini dan itu, namun perlahan-lahan mereka mengikatkan dirinya pada gadget. Hingga kemudian timbul ketergantungan.

Oleh karenanya, yuk simak 4 tips yang kami dapatkan dari Mata Pena saat itu:

1. Ajak Anak Diskusi tentang Kebebasan

Sebelum membicarakan hak dan kewajiban, ajak anak diskusi terlebih dahulu tentang semua manusia pasti menginginkan kebebasan. Itu lumrah. Tapi pertanyaannya, apakah ada manusia yang benar-benar punya kebebasan sejati? Kebebasan yang tanpa batasan?

Kebebasan yang terlalu bebas malah membuat manusia terlalu rapuh. Untuk menjadi kuat, manusia justru harus tidak bebas. Harus berkolaborasi/ mengikat dirinya terhadap sesuatu agar bisa bertahan hidup.

Bayangkan ketika kita bebas main HP dan nonton televisi kapan pun, yang ada sebenarnya bukan kebebasan yang didapatkan. Kita justru akan ketergantungan pada HP dan televisi. Sekalinya mati lampu atau koneksi internet mati, apa yang kita rasakan? Jengkel, marah dan merasa bosan karena tidak tahu harus melakukan apa.

2. Ngobrol tentang Perlunya Aturan di Rumah

Si kakak saat umurnya 4 tahun pernah bertanya, kenapa di rumah temannya diperbolehkan main gadget setiap hari, tapi di rumah kami hanya boleh pegang gagdet tiap Sabtu dan Minggu. Momen saat anak bertanya seperti ini adalah momen terbaik untuk mengajak anak ngobrol dari hati ke hati tentang pentingnya sebuah keluarga harus ada aturan.

Karena kebebasan satu orang bertemu dengan kebebasan orang lain. Maka agar kebebasan ini tidak berbenturan, maka dibentuklah aturan yang bisa mengakomodir/ mengkolaborasikan. Misal, kita suka mendengarkan musik keras, tapi tetangga kita belum tentu suka dan bisa jadi mengganggu. Maka agar sampai tidak mengganggu, harus ada aturan.
Secara default, manusia itu senang dengan keteraturan. Oleh karenanya, aturan perlu dibuat.
Bisa kita berikan contoh pada saat traffic light mati, apa yang terjadi? Jalanan menjadi amburadul, mobil dan motor berebut jalan, saling membunyikan klakson. Itulah gunanya traffic light untuk mengatur lalu lintas agar tidak ada kemacetan dan kesemrawutan, begitu pula alasan mengapa aturan memegang gadget dan menonton TV di rumah dibuat.

3. Takut Anak Terkekang karena Aturan?

Apakah setelah ada aturan akan membuat terkekang? Sekarang tinggal pilih yang mana; anak bebas tanpa aturan tapi ortu yang terkekang. Atau sebaliknya?

Kok bisa ortu yang terkekang kalau tidak ada aturan? Ya jelas, saat anak sibuk main game terus, bukankah sohib parents pasti nggak berhenti ngomelin anak? Apa namanya kalau tidak terkekang?

Abah Ihsan membagikan konsep berikut;
  • Jika aturan menghalangi kebaikan, maka akan ada kondisi terkekang.
  • Jika aturan tidak diberi unsur kebebasan, maka di situlah muncul kondisi terkekang.
Oleh karenanya buatlah aturan yang tidak menjadikan anak terkekang. Caranya yaitu buat aturan yang tetap ada unsur kebebasan dan tanggungjawab.

Contohnya, anak-anak boleh kok main HP tapi di jam atau hari tertentu. Anak-anak boleh minta jajan tapi di jadwal yang sudah ditentukan. Anak-anak boleh mainan air, tapi hanya satu kali sepekan.

Tanyakan pada anak mana aturan di rumah yang tidak ada kebebasannya? Bukankah anak-anak tetap bisa pegang HP, tetap boleh minta jajan, dan bisa mainan air? Hanya saja diberikan waktu tertentu, untuk menumbuhkan rasa tanggungjawab dan tidak kebablasan.
Sampaikan juga pada anak bahwa orangtua punya kewajiban untuk memberikan perlindungan (makanan, tempat tinggal) dan mendidik anak. Itulah kenapa orangtua memiliki aturan-aturan tersendiri yang bisa jadi berbeda dengan keluarga lainnya.

4. Kapan Aturan Dibuat?

Aturan tidak perlu dibuat jika tidak ada ketidakaturan. Aturan dibuat saat ada ketidakharmonisan, dan ada kebebasan yang saling berbenturan. Aturan bisa jadi wajib dan tidak wajib, tergantung kondisi rumah masing-masing.
Contoh, dulu saat kakak berusia tiga tahun, kami tak memberikan jadwal jajan. Karena kakak typical anak yang nggak pernah minta jajan. Dia selalu merasa cukup dengan snack time yang diberikan. Namun ketika mulai bersekolah dan melihat teman-temannya jajan ke warung. Mulailah ia merengek minta jajan seperti teman-temannya, apa saja yang lewat ingin dirasakan. Sejak saat itu dibuatlah jadwal jajan di rumah untuk melatih kakak bertanggungjawab.

Jika anak sering mengeluh dengan aturan yang orangtua buat di rumah dan sering berkata, “kenapa sih aku diatur-atur terus?”, coba aja sesekali bebaskan, lalu bikin permainan “kenapa ngatur-ngatur ayah/ ibu?”

Misal, seharian sengaja bunda tidak memasak, saat anak bertanya “kok bunda nggak masak?”, jawablah dengan “kenapa ngatur-ngatur bunda, kamu kalau mau makan, masak aja sendiri.”

Atau saat ayah pulang kantor, cuzz langsung pegang HP, saat anak bertanya “kok ayah nggak main sama aku sih?” Jawalah dengan “kenapa ngatur-ngatur ayah? Sesuka ayah dong mau main HP atau nggak.”

Yakin deh saat seperti itu anak akan sadar bahwa mereka masih butuh ortunya. Lalu mereka akan sadar bahwa ternyata aturan yang ditegakkan di rumah memiliki manfaat bagi mereka.
Banyak anak ingin dianggap dewasa, tapi perilakunya masih belum dewasa. Maka ajak anak diskusi tentang apa itu dewasa, ciri dewasa itu apa.
Semoga sedikit insight tentang melatih kebebasan bertanggungjawab kepada anak bisa bermanfaat ya. Terus semangat membersamai anak-anak, sohib parents.
Marita Ningtyas
Marita Ningtyas A wife, a mom of two, a blogger and writerpreneur, also a parenting enthusiast. Menulis bukan hanya passion, namun juga merupakan kebutuhan dan keinginan untuk berbagi manfaat. Tinggal di kota Lunpia, namun jarang-jarang makan Lunpia.

No comments for "Memberikan Kebebasan Bertanggungjawab kepada Anak"