Ifa dan Tangisan Andalannya




Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Setelah liburan yang cukup panjang, Bunda Sayang level 7 akhirnya kembali digelar. Dan aku tergopoh-gopoh mengikuti ritmenya. Dengan jadwal di bulan Ramadan yang merayap, mengatur waktu antara rutinitas ibadah, pekerjaan dan mengatur rumah agar terpegang semua membuat aku sangat keteteran mengerjakan tantangan 10 hari. Akhirnya… di detik-detik terakhir inilah, aku baru berhasil mendokumentasikan tantangan 10 hari dalam jurnal pengasuhanku ini.

Buatku proses pengasuhan adalah proses PDKT dengan anak yang tanpa henti. Dinamis. Meski ada karakter yang tetap, namun selalu ada perubahan dan perkembangan di tiap detiknya. Mengamati Ifa dari hari ke hari terkadang justru semakin membuatku bertanya-tanya sudah seberapa banyakkah aku mengenalnya.

Sejak bayi, dia sudah terlihat berbeda. Bukan hanya karena saat dia lahirkan dia merupakan satu-satunya bayi perempuan di ruangan kami menginap, tapi juga sejak pertama kali dilahirkan sudah terlihat betapa tangisannya paling keras seantero ruangan. Bahkan tangisan bayi-bayi laki-laki yang ada di ruangan khusus bersalin itu terkalahkan oleh tangisannya Ifa yang menggelegar hingga terdengar ke seluruh ruangan.

Dia bayi yang sangat mudah menangis. Karena sifatnya ini, aku sempat baby blues berkepanjangan. Aku sempat merasa frustasi menghadapi bayi Ifa yang mudah sekali menangis, dan ketika menangis susah sekali dihentikan. Apalagi saat itu aku belum belajar parenting. Barulah ketika aku mulai sedikit demi sedikit belajar pengasuhan anak lebih intens, aku jadi tahu ada beberapa jenis anak. Ada anak yang bertipe mudah, sedang dan sulit. Dan Ifa termasuk anak yang sulit, ciri-cirinya ia gampang menangis dan sulit ditenangkan, susah beradaptasi di lingkungan baru dan mudah tantrum.

Ya, Ifa memang mudah sekali tantrum. Dia tidak akan malu bergulung-gulung di lantai supermarket ketika keinginannya tak dikabulkan. Tak akan malu meraung menangis sepanjang perjalanan dari sekolah ke rumah ketika permintaannya tak dikabulkan. Dengan tingkat kesabaranku yang rendah, aku sempat salah menangani hobi tantrum Ifa, entah sudah berapa kali cubitan mendarat di tubuh kecilnya. Entah berapa kali bentakan merusak sel-sel otaknya. Hal yang sampai sekarang masih aku sesali karena terlambat belajar pengasuhan anak.

Namun kini aku sudah mulai bisa tenang menghadapi tantrumnya Ifa. Tangisannya adalah bentuk kekekalan ikhtiarnya. Maka aku berusaha mengkondisikan diri untuk tidak terganggu dengan tangisannya, menutup kuping, menebalkan rasa cuek meski dilirik orang banyak, harus berani dicap tega membuat anak menangis hanya karena minta jajan. Perlahan hobi tantrum Ifa mulai bisa diatasi, selama moodnya bisa dijaga dengan baik. Begitu ada yang merusak moodnya, aku dan ayahnya harus siap-siap mengkondisikan moodnya agar baik kembali. Kalau gagal, lebih baik diajak pulang daripada heboh di jalanan.

Dulu aku sempat gemes dengan sifatnya ini, hingga kemudian aku berkaca. Anakku adalah cerminanku. Ya, Ifa memiliki sebagian besar sifatku. Melihat dia sama dengan melihatku. Aku mulai bertanya pada diriku sendiri, apa yang membuatku nyaman dan apa respon yang aku harapkan dari sekitarku. Dengan begitu, aku bisa lebih memahami Ifa. Meski tentu saja dia tetap saja unik, dia tetap saja berbeda denganku.

Aku tidak lagi melihat tantrumnya Ifa sebagai hal yang buruk. Aku justru tahu ia tipe anak yang memiliki keinginan dan pendirian yang kuat. Jika sudah ingin sesuatu, atau sudah dijanjikan sesuatu, maka harus terealisasi saat itu juga. Tidak boleh ada perubahan mendadak. Dengan mengetahui hal ini, aku jadi lebih bisa fokus pada keunikannya ini. Baiknya tentu saja dia akan berusaha sekuat tenaga ketika menginginkan sesuatu. Maka aku hanya harus memfasilitasinya dengan memberi batasan yang jelas bahwa tidak semua keinginan bisa dikabulkan dan terwujud. Ada jadwal tertentu untuk membeli jajan, mainan dan buku. Di luar jadwal itu maka keinginan tidak akan dikabulkan. Kecuali jika keinginan itu sekaligus sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi.

Dari sifat unik Ifa tersebut, aku juga belajar untuk tidak menjanjikan sesuatu yang aku sendiri belum yakin bisa memenuhinya.  Dengan begitu aku tidak akan membuatnya kecewa sekaligus aku tidak membuat janji-janji palsu yang bisa membuatnya tak lagi percaya padaku.

Kini di usia 6.5 tahun, Ifa mulai bisa tahu bahwa tangisan bukanlah solusi untuk mengancam ayah bundanya agar keinginannya terkabul. Bukan berarti ia tak boleh menangis. Ketika ia kecewa dan sedih tentu saja menangis diperbolehkan, tapi tidak boleh sampai mengganggu orang lain hingga gulung-gulung atau teriak-teriak. Semoga kelak tangisanmu akan menjadi kekuatanmu ya, nak. Menangislah hanya untuk Tuhan dan agamamu J

Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.


#semuaanakadalahbintang
#institutibuprofesional
#kelasbundasayang



Marita Ningtyas
Marita Ningtyas A wife, a mom of two, a blogger and writerpreneur, also a parenting enthusiast. Menulis bukan hanya passion, namun juga merupakan kebutuhan dan keinginan untuk berbagi manfaat. Tinggal di kota Lunpia, namun jarang-jarang makan Lunpia.

No comments for "Ifa dan Tangisan Andalannya"