Talk Less, Do More in Parenting World



Assalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Apa kabarnya hari ini, parents? Kami sedang bersiap untuk mengambil raportnya kak Ifa nih. Satu hal yang paling kami sukai ketika pengambilan raport adalah sesi menyimak portofolio kegiatan kak Ifa selama satu semester di sekolah.

Alhamdulillah bisa mendapat partner sekolah yang sesuai dengan visi misi keluarga itu asyik banget. Di sekolah kak Ifa semua anak itu unik dan pintar, sesuai dengan kelebihan mereka masing-masing. Kak Ifa juga tiap hari selalu ada peningkatan dari segi positif, yang dulunya nggak berbaur sama teman sekarang sudah main bareng. Yang dulu belum berani bicara di depan kelas sekarang sudah berani cerita pengalamannya ke teman-teman.

Kali ini tapi aku bukan mau cerita soal hasil raport kak Ifa atau mau share soal sekolah kak Ifa sih. Jadi saat lagi mempersiapkan beberapa tulisan portofolio ifAffan, di luar rumah ada tetangga yang sedang heboh meminta anaknya segera mandi. Ibunya mengajak si anak mandi pakai bahasa paling halus hingga paling kasar. Dari yang tadinya ngajak secara lembut sampai ngajak pakai cara kasar. Anaknya pun akhirnya nangis. Apakah kemudian si anak berakhir mandi? Ternyata tidak. Si ibu give up karena nggak bisa “memaksa anak” dan akhirnya dibiarkan si anak main di luar.

anak susah mandi?

Pernah mengalami hal seperti ini, parents? Aku sih pernah banget, especially waktu kak Ifa masih kecil dan emaknya ini belum banyak belajar. Rasanya jengkel, capek dan emosi tingkat dewa. Dapat apa? Nggak dapat apa-apa. Anak malah tantrum, ibunya juga ikutan tantrum. Dapat lelah doang, nggak jadi lillah pula lelahnya, hehe.

Komunikasi Produktif

Alhamdulillah sejak sedikit demi sedikit belajar tentang bagaimana pola asuh yang tepat, aku mulai mengurangi bicara saat meminta anak-anak melakukan sesuatu. Karena banyak bicara itu capek, udah capek di mulut, capek tenaga karena ujungnya teriak-teriak dan anak nggak paham apa yang kita mau. Masih ingat kan konsep komunikasi produktif? 7% kata-kata, 38% intonasi dan 55% gesture. Jadi sebenarnya percuma kita kalau nyuruh anak nglakuin sesuatu dengan banyak omong, nggak didengerin. Yang paling tepat memang gunakan kata secukupnya, pakai intonasi yang tepat dan gunakan gesture yang menenangkan. Insya Allah anak akan menangkap pesan yang kita maksud.

Masalah mandi, Alhamdulillah kak Ifa sudah tertata. Kami sudah membuat kesepakatan kak Ifa nggak boleh main di luar rumah kalau belum makan dan belum mandi. Jadi dia tahu diri, kalau belum mandi ya nggak bakal minta ijin ke luar. Setelah mandi dan wangi, baru deh dia berani minta ijin main ke luar.

formula of productive communication

Pernah nggak kak Ifa melanggar kesepakatan? Ya pasti lah. Namanya juga anak-anak. Bundanya nggak aware, dia udah asyik di depan rumah. Apalagi kalau sudah ketemu sama teman-temannya, bisa lupa deh kalau belum mandi. Terus teriak-teriak nggak? Dulu sih iya. Tapi sekarang sih nggak perlu lagi. Cukup bilang, “sudah mandi kak?” Biasanya ditanya begini juga kak Ifa udah paham sih, dan bergegas masuk ke rumah untuk segera mandi.

Ada kalanya Ifa belum beranjak meski sudah menggeleng. Kalau begini, aku akan tanya ke kak Ifa “mainnya mau berapa menit lagi?” Setelah dia menjawab sekian menit, aku membiarkan dia main sesuai kesepakatan waktu yang dia buat. Kalau sampai batas waktunya masih juga belum masuk rumah untuk mandi, maka aku keluarkan jurus terakhir; jurus menghitung. Biasanya aku kasih kesempatan hingga hitungan ke 10. Ada kalanya belum sampai hitungan ke 10, Ifa sudah segera masuk. Tapi kalau lagi kumat isengnya, sampai hitungan ke 10 belum masuk juga, ya berarti harus digotong.

Pasti ada yang bilang aku pengennya anak itu sadar sendiri akan kewajibannya, nggak perlu dipaksa-paksa. Yoyoy, semua orang tua pasti pengennya begitu. Tapi untuk sampai ke taraf kesadaran diri, ya memang harus sedikit dipaksa. Kalau sudah terbiasa, baru deh perlahan kesadaran diri itu muncul. Jadi nggak ada tuh yang namanya entar kalau gede kan tahu sendiri. Kita sholat, puasa, berjilbab juga awalnya ‘dipaksa’ kan? Karena ada ayatnya, ada perintahnya, mau nggak mau melaksanakan semua perintah tersebut hingga akhirnya terbentuk sebuah kesadaran bahwa semua itu kebutuhan hidup. Begitu juga anak-anak.

Tips to do Talk Less Do More

Talk less, do more ternyata bukan cuma ungkapan yang bisa kita pakai untuk memotivasi diri dalam hal yang berkaitan dengan bisnis atau usaha lainnya. Di parenting pun, ungkapan ini bisa diterapkan. Kalau boleh aku simpulkan untuk membentuk kesadaran diri anak akan sesuatu, misalnya mandi di waktu yang telah ditetapkan, berikut ini langkah-langkahnya;

buat konsekuensi
  1. Buat kesepakatan awal dan konsekuensinya. Pastikan konsekuensi adalah sesuatu yang membuat haknya tercerabut, misal seperti yang aku lakukan kalau belum mandi ya nggak boleh main di luar.
  2. Jika anak melakukan kekekalan ikhtiar tahap 1, tanyakan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan kegiatan mainnya.
  3. Jika anak melakukan kekekalan ikhtiar tahap 2, berikan hitungan. Big nay saat menghitung anak; jangan pakai desimal. Kebiasaan orangtua jaman old, kalau menghitung begitu hampir sampai angka 1 dan si anak belum berkutik, mulai deh muncul 3 ½, 2 ½, 1 ¼ , dst. Tinggalin deh cara kuno itu. Penggunaan desimal hanya bikin si anak tahu kita mulai nggak pede sama trik yang kita gunakan. “Yes, habis ini juga aku dibiarin main.”
  4. Ketika hitungan sudah nggak mempan, gotong anak ke kamar mandi. Nangis? Nggak masalah. Nggak berbahaya kok buat jiwa anak, wong aslinya dia tahu memang kudu mandi. Itu mah kekekalan ikhtiar doi aja biar kita terbujuk rayuan tangisan gombalnya, hehe. Cool aja, lalu gunakan rumus 7-38-55. Di depan kamar mandi omongin baik-baik kalau sudah waktunya mandi. Setelah ini boleh kok main lagi. Peluk dan see, your kids will understand. Habis itu senyum lagi deh si anak.
akhiri dengan hitungan kalau belum mempan


Yang berbahaya itu kalau kita kasar ke dia, teriak-teriak, diguyur pakai air sampai gelagepan. Ini jelas bisa mengganggu psikologisnya, bisa trauma. Kok tahu? Soalnya aku pernah kelepasan melakukan itu waktu masih jadi orangtua jahiliyah, dan sampai saat ini Ifa masih takut kalau mandinya diguyur, hiks. Maafkan bunda ya, nak yang saat itu fakir ilmu, masih labil dan lain-lain. Insya Allah kita bersama-sama mengatasi traumatikmu itu ya. Bismillah…

Anyway, semoga tips talk less do more ini bisa membantu ya. Yang harus diingat talk less di sini less negative talk. Do more nya sendiri maksudnya do more positive action. Jangan talk less, ngomongnya dikit sih ke anak tapi tetap nyelekit. Do more nya juga bukannya  berupa cubitan atau pukulan ya, tapi action yang menunjukkan kasih sayang dalam bentuk ketegasan, contohnya ya gotong terus dipeluk. Awalnya mungkin sulit membiasakan hal ini, apalagi emak-emak yang fitrahnya memang buanyak ngomong. Namun setelah dapat kliknya, beneran deh helpful banget. Nggak perlu narik urat, anak udah paham apa yang kudu dilakukan. Pastinya kudu konsisten ya mempraktekkannya. Jangan dangthek alias kadang pakai, kadang enggak.



Menjadi orangtua itu memang tidak mudah, banyak kesalahan yang baik sengaja ataupun tidak kita perbuat. Namun selama kita mau berproses lebih baik, insya Allah anak-anak pun juga akan berproses ke arah yang lebih baik. Selamat mengasuh dengan bahagia, parents.


Wassalammualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Marita Ningtyas
Marita Ningtyas A wife, a mom of two, a blogger and writerpreneur, also a parenting enthusiast. Menulis bukan hanya passion, namun juga merupakan kebutuhan dan keinginan untuk berbagi manfaat. Tinggal di kota Lunpia, namun jarang-jarang makan Lunpia.

3 comments for "Talk Less, Do More in Parenting World"

  1. Cara itu memang ampuh banget. :D Kalau kebanyakan ngomel, malah dibalas sama omelan sama anak biasanya. :D

    ReplyDelete
  2. Makasih sharingnya ya mbaa.. aku setuju dgn ttg kesadaran. Sering agak memaksa utk anak belajar ngaji sambil pelan2 ngasih pengertian sih apa gunanya klo bisa mengaji..

    ReplyDelete
  3. Great rreading your blog

    ReplyDelete

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung. Jangan lupa tinggalkan komentar, tapi mohon tidak menyisipkan link hidup.


Salam Peradaban,


Bunda Marita